Pidana Mati dan Absolutisme Hak

Kasus pelecehan seksual Herry Wirawan masih terus bergulir hingga sekarang. Kabar terbaru, berdasarkan penyampaian Jaksa Penuntut Umum dalam sidang Pengadilan Negeri Bandung beberapa waktu lalu, Selasa (11/01/2022), pelaku dituntut hukuman mati atau kebiri kimia atas delik immoral kemanusiaan yang telah melibatkan 12 anak menjadi korban kebejatan seksualnya.

Dalam kasus ini, pidana mati dalam realitasnya akan memantik adanya kontroversi. Pasalnya, serba-serbi kontradiksi pidana mati bukan hanya menghangat kali ini. Sejak dulu para intelektual, populis keagamaan sampai praktisi hukum, baik syariah maupun konvensional, selalu mempertautkan pidana mati dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menghilangkan nyawa.

ilustration

Dilema Moral

Hingga saat ini, tatanan sistem masyarakat dalam menyikapi kondisi sosial terus berdasarkan pertimbangan etik-moral kemanusiaan. Sistem hukum, sosial-kemasyarakatan, agama, politik pemerintahan dan tatanan ekonomi umat selalu berdasarkan landasan etis untuk memperoleh kemaslahatan. Beraneka sistem teersebut dimaksudkan membentuk pola keteraturan (order) dinamika sosial dalam menakar hak dan membatasi kebebasan.

Tuntutan pidanan mati terhadap pelaku kekerasan seksual 12 anak merupakan suatu keputusan yang harus diambil, karena adanya asumsi kealpaan suatu sanksi dan sistem dalam memberikan efek jerah dan edukasi perbaikan ke depannya. Sehingga, terdapat potensi yang lebih besar menghantui masyarakat dan sistem hukum kita akan adanya pelaku yang melampaui perbuatan di atas. Keyakinan untuk menghilangkan ‘sampah peradaban’ sebagai sumber delik sosial berlaku di sana.

Di satu sisi, apakah masih bisa dipertahankan ketika hukuman mati berikut delik sosialnya dihadapkan pada tatanan hak dasar kemanusiaan? Kita masih percaya bahwa tatanan sistem yang berlaku dalam masyarakat, sejatinya dapat menjamin konsitensi akan eksistensi kehidupan manusia di muka bumi. Jika suatu sistem dalam tatanan sosial menemui ‘jalan buntu’ dalam membentuk jaminan itu, apakah manusia sebagai objek sistem harus menjadi korban dari ketiadaaan intensifikasi sistem tersebut? Alasan apa saja serta landasan moralitas bagaimana yang dapat dibenarkan untuk menghilangkan jiwa seseorang melalui sistem yang ada?

Pengakuan terhadap HAM, Islam, dan Barat

Sejak era aufklarung hingga abad 21, kebebasan menjadi kosmologi dan semangat perjuangan. Sejak 1989, negara di dunia, dari Selatan Afrika sampai Amerika Latin, kembali mereformasi demokrasi dalam rangka memanifestasi HAM (universal declaration of human right) yang mengakui keberadaan manusia sebagai suatu yang otonom dan bebas. Seperti, Deklarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM, Deklarasi Amerika di Bogota tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban (1948) atau Konvensi Hak-Hak Asasi Manusia Eropa (1961).

Seiring munculnya perbuatan destruktif yang mengancam kedaulatan dan kepentingan orang banyak, PBB sebagai organisasi terbesar di dunia dalam konvensi hak-hak sipil dan politik menyatakan tidak menyalahkan dan atau membenarkan adanya hukuman mati, akan tetapi memperketat atau meminimalisir adanya ruang lingkup praktek pidana mati dengan sanksi dan edukasi alternatif yang lebih efektif.

Begitupula Islam, mengakui adanya HAM sebagai suatu yang esensial dalam ajarannya (Al-Maidah: 44). HAM dalam Islam secara falsafati termaktub dalam pengakuan tauhid, La Ilaha Illallah. Dalam tauhid, terdapat pengakuan adanya Allah sang Khaliqyang secara bersamaan mengakui ciptaan-Nya (makhluk) yang ada di dunia ini. Melampaui deklarasi HAM, Islam tentu memiliki nilai lebih jika dikomparasikan dengan HAM yang populer di Barat.

Pertama, Islam tidak hanya memuat adanya ide persamaan hak dan keadilan dengan sesama (hablun minannas), melainkan juga mengajarkan konsep menghargai dan memelihara adanya makhluk tuhan yang lain (hablun minalalam) sehingga terdapat keseimbangan hidup dengan saling memenuhi satu sama lain. Beda dengan HAM Barat yang hanya mengakui hak-hak kemanusiaan karena cenderung antroposentris sehingga melupakan hak makhluk di luar manusia.

Kedua, Islam mengakui HAM secara kodrati di mana Allah menjamin itu dengan sendirinya melalaui batasan-batasan (nomos) naluriyah. Islam meyakini pengetahuan manusia yang bisa mempertanggungjawabkan kebebasan yang dimilkinya, bukan berdasarkan akta resolusi dan deklarasi seperti PBB yang memandang manusia dengan kebebasan mutlak.

Landasan Moralitas

Berdasarkan pertimbangan hak dasar kemanusiaan, pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku pidana harus melalui pertimbangan yang selektif dan berdasarkan alasan yang dapat diterima secara komprehensif, baik secara akal maupun moral. Sekiranya di kemudian hari tidak terdapat kecacatan putusan, baik secara formil maupun materil dalam menetapkan suatu sanksi yang selama ini menjadi perdebatan di tataran praktisi hukum dan disipliner keilmuan.

Secara delik kemanusiaan, memang tidak dapat ditampik bahwa pidana mati merupakan hukuman yang sesuai bagi pelaku pidana pelecehan seksual dengan melibatkan 12 anak sebagai korban. Tidak ada ampunan bagi pelaku yang sudah dalam taraf akut menanggalkan sifat kemanusiaan demi kepuasan nafsu yang dituankan.

Namun, menghilangkan jiwa seseorang berdasarkan putusan kesepakatan sistem tetaplah bukan hal yang biasa. Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Haspara, bahkan menunjukkan tidak sepakat terhadap tuntutan hukuman mati atas kasus pelecehan seksual itu. Menurutnya, selain bertentangan dengan hak asasi, hukuman mati belum tentu bisa memberikan edukasi jerah. Harus ada solusi yang lebih komprehensif dengan pendekatan alternatif yang sejalan dengan maksud hukum.

Apalagi secara yurisdiksional, menurut Mantan Hakim Artidjo Alkostar, delik perundang-undangan tentang pidana mati masih belum linear secara meteril dengan isi pasal prasyarat terpenuhinya sanksi itu. Sejauh ini, pidana mati bisa terpenuhi, jika terpenuhi kondisi hukum di luarnya. Seperti terjadi bencana alam atau terjadinya perbuatan yang sama oleh pelaku. Jadi, pasal sebagai syarat terpenuhinya sanksi hukuman mati masih belum bisa dipenuhi jika kondisi di luarnya masih belum terjadi.

Maka, putusan hukuman mati harus berlandaskan etik-moral kemanusiaan yang dapat diterima secara umum. Selain memenuhi syarat yang harus termuat dalam pasal perundang-undangan, seperti UU Nomor 23 Tahun 2022 Pasal 81 atau Pasal 76 RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak, juga harus terdapat asumsi yang kuat bahwa pidana mati dilakukan untuk meniadakan seseorang yang dalam batas sadar tidak dapat lagi diperbaiki secara moral dan kejiwaan, dan masih berpotensi melakukan perbuatan yang sama atau bahkan lebih dari itu (Suparmi, 1999: 27).

Negara yang memegang peranan harus bisa menjamin terpenuhinya hak dan kepastian perdamaian dalam masyarakat, dengan sendirinya terlepas dari kewajiban untuk memelihara mereka dengan penjara. Terdapat dasar (reason) menghilangkan satu orang karena pertimbangan kemaslahatan orang banyak agar delik mencabut hak asasi seseorang dari putusan hukuman mati bisa dibatalkan dengan kepentingan bersama. 

Oleh: A. Fahrur Rozi

(Sahabat Siyasah dan Menulis di Distrik HTN Institute)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *